Last,
mau kemana lagi kita? Bukankah setiap sudut kota ini pernah kita jelajahi? Sia-sia
rasanya. Kita pernah terseok-seok, dengan perut lapar dan dengkul gemetaran,
masuk dari satu gang ke gang lain hanya untuk mencari kita. Pernah juga kita
tersesat, tersesap masuk ke dalam menara cahaya yang warnanya membutakan,
membuat lupa dan bikin betah di
dalamnya.
Pada titik tertentu, lalu kita mulai berpikir bahwa kita
memang tidak pernah ada. Kita hanya manifestasi dari beragam keinginan manusia
yang mencoba mengaktualisasi diri, buah pikiran atau endapan perasaan yang
mencoba bersekongkol satu sama lain dan mencoba berkhianat pada tuannya--manusia.
Pernah suatu ketika, pada bulan Desember basah yang tahunnya aku lupa, itu adalah hari
terakhir kita berjumpa. Sambil menggigil di bawah kanopi sebuah minimarket, kita
mengutuki hari-hari yang sudah terlewat. Lilin harapan yang selama ini kita
dekap untuk sekadar mencari kehangatan telah padam. Sedari awal kita bertemu,
kamu selalu bilang kalau kita adalah cermin satu sama lain, saat kita
berhadapan maka akan timbul rectoverso, pantulan tak berhingga yang kita coba
jamah untuk mencari tahu siapa diri kita.
Cermin itu pecah, tepat saat langkah pertama kau ayunkan
menembus garis-garis gerimis. Kucoba memanggil namamu berulang-ulang tapi yang
aku dengar hanyalah rintihan ranting-ranting patah saat kau terus melangkah.
Sesudahnya, aku hanya menatap ruang kosong yang ditusuki garis-garis gerimis. Perlahan gerimis menjelma menjadi tangis.
Tahun-tahun
lewat bagai putaran gasing. Kucoba mencari wajahku sendiri lewat sebentuk
perjalanan bernama ziarah tapi tak juga kutemu wajahku di sana. Hanya
garis-garis bekas luka yang tersisa saat berkaca dalam pantulan air danau biru
bening.
Pada suatu pagi, di sebuah peron kereta api aku berjumpa
seekor burung nuri. Ia menatapku lekat-lekat, seperti dua orang sahabat lama
yang baru berjumpa. Aku mengangguk. Nuri itu masih menatapku dengan tatapan
yang sama seperti detik sebelumnya. Aku tersenyum. Kutemukan diriku dalam
dirinya.
Aku dan burung nuri seperti sahabat lama, tapi demi
bermain sebuah peran, kami pura-pura tidak mengenal satu sama lain.
Mantep deh!
ReplyDelete🐘
DeleteWow. keren Uncle. Speechless!
ReplyDelete🐘
DeleteMantul uncle 🖒🖒
ReplyDelete🐘
DeleteMangtaaabb, Uncle
ReplyDelete🐘
Delete🐘
ReplyDeleteManusia ada secara NISBI
ReplyDelete