Skip to main content

Ayah



“Maafkan kesalahan ayah jika itu memang merupakan sebuah kesalahan. Ayah terlahir bisu dan tuli, sedangkan kamu terlahir sempurna. Setelah ibumu pergi mendahului kita, sekarang tinggal kamulah satu-satunya permata ayah yang paling berharga. Kamu harus banyak makan supaya cepat besar dan rengkuhan tanganmu jadi panjang dan kuat agar bisa memeluk dunia.”
                Itulah kata-kata yang--hampir setiap pagi--berusaha dia katakan, dengan gesture yang aku hafal benar. Tangannya menunjuk sepiring nasi goreng atau nasi uduk di meja, lalu jari telunjuknya menunjuk ke arahku, setelah itu tangan kanannya terangkat seolah-olah mencoba mengelus udara di atas kepalanya. Sementara, dalam kepalaku hiruk-pikuk dengan rasa takut. Cercaan apalagi yang akan aku terima dari teman-teman di sekolah? Bapakmu bisu, anak orang cacat dan seabreg hinaan lainnya sudah menjadi pelengkap sarapan pagiku setipa hari.
                Aku yakin ayah tahu hal itu, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah dia pasti akan menggenggam tanganku, tanpa gestur atau berusaha berkata apa-apa, dia hanya menggenggam, mencoba mengalirkan semangat dan harapan yang dia punya, yang kadarnya selalu bertambah, tak pernah sedikit pun surut.
                Sepanjang perjalanan ke sekolah, sambil dibonceng motor tua kesayangannya yang katanya itu adalah satu-satunya benda pengingat ibu, aku pasti menunduk. Berusaha menghindari tatapan teman-temanku yang kadang berpapasan di jalan. Setelah itu ayah akan pergi ke pasar, bekerja apa saja yang bisa dia lakukan dengan sisa tenaganya. Pukul dua siang, dia akan kembali datang menjemputku, lengkap dengan motor tuanya.
                Pernah suatu ketika, karena sering menonton televisi sampai larut malam dan akumulasi kebanyakan minum es aku terserang demam. Suhu tubuhku tinggi tapi aku merasa dingin, tubuhku menggigil hebat. Dengan telaten ayah menyuapiku bubur ayam hangat, dan hebatnya, dia selalu datang melihat keadaanku setiap satu jam. Dengan badan masih banjir keringat sehabis bekerja di pasar, dia akan datang mengganti air kompresan atau kadang-kadang sekadar membenarkan posisi selimut agar aku tidak kedinginan.
                Hal itu terus berlangsung sampai aku dewasa, bekerja dan menikah. Ayah tidak pernah mau kuajak pindah ke rumah aku dan suami, dia bilang, rumah yang selama ini kami tempati, motor tua kesayangannya dan aku adalah hal yang selalu mengingatkan kenangannya akan ibu. Belum pernah aku bertemu dengan seorang lelaki yang memiliki cinta dan komitmen sebegitu besar.
                Kadang, saat suamiku harus bekerja di luar kota dan aku terkena demam, ayah masih tetap akan datang ke rumah, menyuapiku dengan bubur hangat, lalu duduk di teras sambil memandangi motor kesayangannya yang diparkir di halaman. Setiap satu jam sekali dia akan melihat keadaanku, meraba kening, mengganti air kompresan atau membenarkan posisi selimutku.
Ayahku adalah ayah terbaik. Ayah nomor satu di dunia, tak ada yang pernah bisa menggantikan posisinya, siapapun itu. Terlepas dari bisu dan tulinya, tangannya adalah dokter terbaik dan cintanya adalah obat yang paling mujarab, untukku.

Comments

  1. air mata dengan mata kok jadi rebutan baca, ya?

    ReplyDelete
  2. Seorang Ayah yang baik Dan penyayang akan jadi Teman sejati bagi putrinya, the best buddy ever, cerita sederhana dgn makna yang dalam.

    ReplyDelete
  3. Uncle.. Sesungguhnya saya rindu pada tulisan2mu. Eh, sekalinya baca bikin nangis.

    Ayah saya juga adalah Ayah yang terbaik. Bahkan di saat saya sudah menikah dan memiliki anak. Kadang kalau suami gak sempat antar ke kantor, dia menawarkan mengantar saya dengan ceria. Dulu tugasnya adalah mengantar saya dan dia selalu bahagia tiap mengantar saya. Setelah menikah tugas itu beralih kepada suami, lalu saya jadi merasa bersalah karena telah merenggut kebahagiaan (dan rutinitas pagi) ayah saya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Okay, besok-besok saya nulis yang lebih ceria deh

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Wisata Sehari Di Bumi Tua

Last , mau kemana lagi kita? Bukankah setiap sudut kota ini pernah kita jelajahi? Sia-sia rasanya. Kita pernah terseok-seok, dengan perut lapar dan dengkul gemetaran, masuk dari satu gang ke gang lain hanya untuk mencari kita. Pernah juga kita tersesat, tersesap masuk ke dalam menara cahaya yang warnanya membutakan, membuat lupa   dan bikin betah di dalamnya.             Pada titik tertentu, lalu kita mulai berpikir bahwa kita memang tidak pernah ada. Kita hanya manifestasi dari beragam keinginan manusia yang mencoba mengaktualisasi diri, buah pikiran atau endapan perasaan yang mencoba bersekongkol satu sama lain dan mencoba berkhianat pada tuannya--manusia.             Pernah suatu ketika, pada bulan Desember basah   yang tahunnya aku lupa, itu adalah hari terakhir kita berjumpa. Sambil menggigil di bawah kanopi sebuah minimarket, kita mengutuki hari-hari yang sudah terlewat. Lilin harapan yang selama ini kita dekap untuk sekadar mencari kehangatan telah padam. Sedari awal

Wajah di Jendela

Kalau kita mau mau main hitung-hitungan kesedihan, tentu saja kami yang akan menang. Sebesar apa pun dukamu tidak akan sampai seujung kuku dari derita yang kami terima—justru—saat kami sedang berusaha menghiburmu. Sejenak mengalihkan perhatianmu dari bayangan malaikat maut yang setiap saat mengintai dari balik tirai abu-abu di pojok ruangan. Percayalah, air mata yang kamu teteskan saat menahan sakit itu bukan sepenuhnya air mata dari kelopak matamu sendiri. Itu akumulasi air mata kami juga yang diam-diam kami transfer lewat senyum di hadapanmu. Ya, hanya di hadapanmu sekarang kami bisa tersenyum. Selebihnya, kami menangis diam-diam. Kami menangis setiap saat, dimana pun; di toilet, dalam bus, di kamar, dimana pun asal kamu tidak melihat. Tangisan tanpa suara.                 Setiap malam, harap-harap cemas kami berdoa yang sepenuhnya sia-sia. Berharap malaikat maut sejenak alpa supaya—setidaknya—kita bisa menyesap beberapa gelas Bourbon atau membakar Sir Walter Raleigh sembar