“Maafkan kesalahan ayah jika itu memang merupakan sebuah kesalahan. Ayah terlahir bisu dan tuli, sedangkan kamu terlahir sempurna. Setelah ibumu pergi mendahului kita, sekarang tinggal kamulah satu-satunya permata ayah yang paling berharga. Kamu harus banyak makan supaya cepat besar dan rengkuhan tanganmu jadi panjang dan kuat agar bisa memeluk dunia.” Itulah kata-kata yang--hampir setiap pagi--berusaha dia katakan, dengan gesture yang aku hafal benar. Tangannya menunjuk sepiring nasi goreng atau nasi uduk di meja, lalu jari telunjuknya menunjuk ke arahku, setelah itu tangan kanannya terangkat seolah-olah mencoba mengelus udara di atas kepalanya. Sementara, dalam kepalaku hiruk-pikuk dengan rasa takut. Cercaan apalagi yang akan aku terima dari teman-teman di sekolah? Bapakmu bisu, anak orang cacat dan seabreg hinaan lainnya sudah menjadi pelengkap sarapan pagiku setipa hari. Aku yakin ayah tahu hal itu, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah