Kalau kita mau mau main hitung-hitungan kesedihan, tentu saja kami yang akan menang. Sebesar apa pun dukamu tidak akan sampai seujung kuku dari derita yang kami terima—justru—saat kami sedang berusaha menghiburmu. Sejenak mengalihkan perhatianmu dari bayangan malaikat maut yang setiap saat mengintai dari balik tirai abu-abu di pojok ruangan. Percayalah, air mata yang kamu teteskan saat menahan sakit itu bukan sepenuhnya air mata dari kelopak matamu sendiri. Itu akumulasi air mata kami juga yang diam-diam kami transfer lewat senyum di hadapanmu. Ya, hanya di hadapanmu sekarang kami bisa tersenyum. Selebihnya, kami menangis diam-diam. Kami menangis setiap saat, dimana pun; di toilet, dalam bus, di kamar, dimana pun asal kamu tidak melihat. Tangisan tanpa suara. Setiap malam, harap-harap cemas kami berdoa yang sepenuhnya sia-sia. Berharap malaikat maut sejenak alpa supaya—setidaknya—kita bisa menyesap beberapa gelas Bourbon atau membakar Sir Walter Raleigh sembar
“Maafkan kesalahan ayah jika itu memang merupakan sebuah kesalahan. Ayah terlahir bisu dan tuli, sedangkan kamu terlahir sempurna. Setelah ibumu pergi mendahului kita, sekarang tinggal kamulah satu-satunya permata ayah yang paling berharga. Kamu harus banyak makan supaya cepat besar dan rengkuhan tanganmu jadi panjang dan kuat agar bisa memeluk dunia.” Itulah kata-kata yang--hampir setiap pagi--berusaha dia katakan, dengan gesture yang aku hafal benar. Tangannya menunjuk sepiring nasi goreng atau nasi uduk di meja, lalu jari telunjuknya menunjuk ke arahku, setelah itu tangan kanannya terangkat seolah-olah mencoba mengelus udara di atas kepalanya. Sementara, dalam kepalaku hiruk-pikuk dengan rasa takut. Cercaan apalagi yang akan aku terima dari teman-teman di sekolah? Bapakmu bisu, anak orang cacat dan seabreg hinaan lainnya sudah menjadi pelengkap sarapan pagiku setipa hari. Aku yakin ayah tahu hal itu, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah